Menakar Ulang Arah Pendidikan Vokasi Maritim Indonesia
![]() |
Gambar di ambil dari sumber https://jurnal.poltekpelsulut.ac.id |
SURABAYA,LINTASDAERAHNEWS.COM - Peran perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Lembaga (PTKL) ke dalam paradigma Pendidikan Vokasi memunculkan ruang diskusi yang penting untuk dibuka secara terbuka dan berbasis data. Meskipun tampak administratif di permukaan, isu ini menyentuh ranah strategis yang menyangkut arah, identitas, serta daya saing pendidikan vokasi Indonesia di ranah global. Alih alih semata-mata soal koordinasi antar kementerian,hal ini menyentuh esensi pendidikan vokasi: keterpaduan antara pembelajaran, sertifikasiprofesi, riset inovatif, dan kebutuhan dunia industri.
Sebagaimana ditekankan dalam Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Vokasi (Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, 2022), perguruan tinggi maritim di Indonesia telah mengimplementasikan prinsip-prinsip ideal pendidikan vokasi—industrialdriven, link and match, diferensiasi kontekstual, dan fleksibilitas dinamis—yang memungkinkan penyesuaian kurikulum secara cepat terhadap kebutuhan sektor pelayaran. Selain itu, data terkini menunjukkan besarnya kebutuhan SDM maritim: sekitar 155.574 awak kapal per tahun di pasar global dan lebih dari 3.700 awak kapal per tahun di pasar nasional,serta lebih dari 62.000 SDM pelabuhan regulasi dan operator (Moejiono, 2024). Angka ini menegaskan urgensi menjaga sistem yang efektif dalam menyediakan tenaga terampil,bukan melakukan pemindahan kelembagaan yang bisa menimbulkan jarak antara pendidikan dan kebutuhan nyata industri.
Keterpaduan Regulasi dan Industri: Pilar Pendidikan Maritim. Menurut Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Vokasi (Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, 2022), pendidikan vokasi harus berakar pada kebutuhan industri (industrial-driven) dan link and match dengan dunia usaha. Dalam konteks maritim, “industri” di sini adalah ekosistem pelayaran nasional dan internasional yang sangat teregulasi oleh IMO. Kemenhub memegang otoritas sertifikasi pelaut (Certificate of Competency), pengaturan pelayaran, dan pengembangan SDM transportasi laut. Relasi antara perguruan tinggi maritim dan Kemenhub bukan sekadar kemitraan administratif, melainkan relasi struktural yang memungkinkan keterpaduan antara kurikulum,pelatihan, sertifikasi, serta riset terapan.
Dalam studi terbaru, ditegaskan akan pentingnya memperbesar riset inovatif dalam pendidikan vokasi maritim agar inovasi benar-benar konkret dan sesuai kebutuhan masyarakat maupun dunia usaha (Moejiono, 2024). Akses langsung ke data operasionalv(misalnya melalui vessel tracking ) dan regulasi sertifikasi memfasilitasi riset terapan yang relevan, seperti peningkatan keselamatan pelayaran, efisiensi logistik pelabuhan, atau adaptasi teknologi Industri 4.0. Jika kelembagaan dipisahkan, jalur riset yang menghubungkan temuan akademik dengan implementasi di lapangan akan terhambat.
Pendidikan Maritim sebagai Lex Specialis. Masih merujuk pada panduan yang sama, disebutkan bahwa tidak ada kurikulum nasional tunggal untuk pendidikan vokasi. Setiap institusi diharapkan merancang kurikulum yang sesuai dengan karakteristik sektornya. Pendidikan maritim merupakan contoh nyata dari lexspecialis, yang menuntut sistem pendidikan semi-paramiliter, budaya disiplin tinggi, sertapraktik keselamatan sebagai bagian dari proses pembentukan profesional pelaut.
Pendekatan ini tentu berbeda dengan model vokasi pada sektor lain seperti teknologi informasi atau manufaktur. Oleh karena itu, menyamakan sistem pendidikan maritim dengan sistem vokasi umum berisiko menghilangkan kekhasan dan kekuatan struktural yang telah terbentuk dan berjalan efektif.
Riset dan Kolaborasi yang Terintegrasi. Dalam kapasitas sebagai dosen, pengalaman kami tidak hanya terbatas pada ruang kelas.Kami aktif terlibat dalam riset terapan, pengembangan teknologi pelayaran, hingga kolaborasi langsung dengan pelabuhan, sistem navigasi, dan instansi teknis di bawah Kemenhub. Relasi ini memungkinkan penguatan tridarma perguruan tinggi dengan cara yang tidak mungkin terjadi secara optimal bila perguruan tinggi maritim dipisahkan dari ekosistem sektoralnya.
Padahal, Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Vokasi menekankan pentingnya keterlibatan industri dalam pengembangan program studi dan peningkatan kapasitas dosen. Dalam model yang berjalan saat ini, prinsip tersebut telah terwujud secara nyata danfungsional.
Kajian Moejiono (2024) menambahkan urgensi memperbesar riset vokasi agar inovasi menjadi nyata, konkret, dan sesuai kebutuhan masyarakat. Struktur kelembagaan saat ini memfasilitasi akses data operasional, peluang uji coba teknologi di lapangan, serta sinergi penelitian multi-institusi. Bila perguruan tinggi maritim dipisahkan dari ekosistem sektoral,efektivitas riset dan kolaborasi ini akan berkurang.
Sertifikasi Pelaut: Pendidikan dan Regulator Tidak Bisa Dipisahkan. Aspek sertifikasi pelaut memegang peran krusial dalam memastikan kompetensi lulusan vokasi maritim. Selain ijazah akademik, setiap calon perwira pelaut wajib memiliki Certificateof Competency (CoC) yang hanya dapat diterbitkan oleh otoritas nasional yang diakui IMO.Di Indonesia, mandat ini berada pada Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Data terbaru menunjukkan kebutuhan awak kapal nasional mencapai sekitar 3.700 orang per tahun, sementara kebutuhan global mencapai lebih dari 155.000 orang per tahun (Moejiono, 2024). Angka tersebut menegaskan pentingnya kesinambungan sistem pendidikan dan sertifikasi yang terintegrasi: jika lembaga pendidikan dipisahkan dari regulator, bukan hanya muncul potensi dualisme kebijakan dan inefisiensi birokrasi, tetapi juga risiko keterlambatan penyesuaian terhadap amandemen standar STCW IMO, yang pada gilirannya dapat menurunkan daya saing lulusan Indonesia di pasar internasional. Dengan struktur saat ini dibawah Kemenhub, perguruan tinggi maritim memiliki akses langsung ke mekanisme sertifikasi dan pemutakhiran regulasi—memungkinkan respons lebih cepat terhadap perubahan standar global dan menjaga kesinambungan pipeline SDM berkualitas. Olehkarena itu, pemisahan kelembagaan berpotensi melemahkan ekosistem ini, padahal proses peningkatan kualitas terus berjalan dalam struktur yang sama, seperti didorong oleh risetterapan dan evaluasi berkala.
Praktik Global: Pendidikan Maritim Berbasis Kementerian Teknis.
Data dari berbagai negara penyumbang utama tenaga kerja maritim dunia menunjukkan pola serupa. Di Filipina, Philippine Merchant Marine Academy (PMMA) menawarkan program sarjana pelayaran selama empat tahun di bawah pengawasan MARINA dan CHED. Di India, Indian Maritime University (IMU) berada di bawah Ministry of Ports, Shipping and Waterways, sementara di Myanmar dan Bangladesh, pendidikan pelayaran dikelola langsung oleh Ministry of Transport dan Ministry of Shipping. Bahkan di Nigeria, Maritime Academy of Nigeria dikelola oleh Federal Ministry of Transport.
Konsistensi global ini menegaskan bahwa model pendidikan vokasi maritim yang terhubung langsung dengan kementerian teknis adalah praktik terbaik internasional. Maka, langkah mempertahankan struktur yang saat ini dijalankan oleh perguruan tinggi maritim Indonesia sejalan dengan praktik tersebut, dan bukan penyimpangan dari arah reformasi.
Menjaga yang Telah Teruji sambil Terus Berbenah. Pendidikan vokasi maritim Indonesia tidak berada dalam posisi stagnan; sebaliknya, ia telah menjalankan prinsip ideal yang dirumuskan dalam Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Vokasi dan selaras dengan model internasional. Kami menyadari sepenuhnya bahwa perguruan tinggi vokasi maritim masih dalam proses berkelanjutan meningkatkan kualitas—mulai dari penyempurnaan kurikulum berdasarkan analisis big data kebutuhan SDM, peningkatan infrastruktur untuk praktik simulasi dan laboratorium, peningkatan kapasitas dosen melalui riset terapan, hingga penyempurnaan sistem tata kelola berbasis evaluasi internal dan eksternal (Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, 2022; Moejiono, 2024). Dukungan kerja sama internasional dan sertifikasi global yang menuntut standar tinggi turut memperkuat proses perbaikan ini.
Proses perbaikan tersebut paling efektif bila dijalankan dalam ekosistem yang terhubung langsung dengan dunia industri dan regulator teknis. Dengan berada di bawah naungan Kemenhub, perguruan tinggi maritim memiliki akses yang langsung untuk menyesuaikan kurikulum dengan perubahan regulasi (misalnya amandemen STCW), menguji inovasi teknologi di lapangan, dan menyelaraskan riset dengan kebutuhan operasional pelayaran atau pelabuhan. Pemisahan kelembagaan dapat memutus umpan balik cepat antara lapangan dan akademik, sehingga proses adaptasi menjadi lambat.
Oleh karena itu, mempertahankan struktur kelembagaan saat ini bukanlah wujud penolakan terhadap perbaikan, melainkan upaya menjaga efektivitas sistem yang telah terbukti memfasilitasi inovasi dan peningkatan kualitas. Alih-alih merombak struktur yang sinergis, akan lebih produktif jika semua pihak memperkuat kolaborasi lintas kementerian—misalnya dukungan Kemdiktisaintek dalam pengembangan metode pembelajaran digital atau soft skills—tanpa memutus relasi fungsional utama dengan Kemenhub. Dengan demikian, pendidikan vokasi maritim yang berkualitas lahir dari integrasi holistik antara akademik, riset, sertifikasi, dan kebutuhan industri, bukan dari fragmentasi kelembagaan.
Daftar pustaka.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. (2022). Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Vokasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi.
Moejiono, M. (2024). Peran Perguruan Tinggi Pelayaran dalam Paradigma Pendidikan Vokasi Nasional: Strategi dan Pengembangan. Kalao’s Maritime Journal, 4(2), 19–33. https://jurnal.poltekpelsulut.ac.id/index.php/kalaos/article/view/45.
Penulis : Diana (Politeknik Pelayaran Surabaya)
Posting Komentar